LET’S RIDE THE WIND

 

Sejak akhir abad ke 20, Taiwan, bersama dengan tiga negara Asia lainnya yaitu Singapura, Hong Kong dan Korea Selatan terkenal dengan sebutan “Four Asian Dragon”. Kesuksesan pemerintah Taiwan membangun perekomiannya, membawa serta kehidupan warganya memasuki tahap modernitas. Gedung Taipei 101 yang pernah menjadi gedung tertinggi sedunia, adalah bukti nyata keberhasilan negara kecil ini. Namun, bagi saya, setiap kali mendengar kata Taiwan, yang terbesit dalam benak saya adalah barisan perbukitan hijau nan asri yang menjulang sangat tinggi, di puncaknya gumpalan awan bergerak mengikuti arah angin, dan sungai-sungai kecil mengalirkan air yang jernih. Taiwan dengan pesona alamnya memang tepat bila disebut sebagai pulau Formosa yang berarti “pulau yang indah”.  Menurut saya, warga Taiwan sangat beruntung, kencangnya arus modernitas, tidak membuat mereka kehilangan identitas diri. Terbukti dari banyaknya bangunan yang memadukan modernitas dan nilai tradisional. Serta disana sini masih bisa ditemui area-area hijau sebagai tempat berekreasi.

Dalam artikel ini, saya mengajak anda untuk menjelajahi sisi lain Taiwan melalui kegiatan bersepeda dan berjalan kaki. Kedua aktifitas fisik ini memang terdengar cukup menguras tenaga, namun inilah salah satu cara terbaik untuk mendapatkan kepuasan menjelajahi Taiwan.

 

Riding with the wind in Taipei

Bersepeda merupakan salah satu kegemaran warga Taipei untuk mengisi waktu luang sekaligus berolahraga. Hal ini nyata terlihat dari banyaknya tempat parkir sepeda di setiap sudut kota Taipei, bahkan para pesepeda ini diperbolehkan untuk membawa masuk sepedanya ke dalam MRT. Kegemaran bersepeda warga Taipei ini, juga didukung oleh pemerintah kota setempat dalam penyediaan lahan khusus bersepeda yang terintegrasi dengan suasana alami seperti sungai, lahan mangrove dan taman kota.

Untuk memulai petualangan bersepeda ini, cukup hanya dengan mengandalkan peta bersepeda yang bisa didapatkan secara cuma-cuma di visitor information center yang ada di setiap stasiun MRT. Di peta, kita bisa memilih enam medan penjelajahan, tentu setiap lokasi memiliki keunikan dan keindahannya sendiri. Seperti di jalur Keelung Riverside Bikeway, para pesepeda bisa duduk di hamparan rumput yang luas sambil menikmati pemandangan distrik Neihu, dimana terletak salah satu landmark terbaru kota Taipei, yaitu Ferris Wheel of Miramar. Pilihan lain adalah bersepeda di tengah hamparan tanaman padi di Guandu Plains atau bersepeda sambil mengunjungi lokasi bersejarah seperti di Shiahai Chenghuang Temple, sebuah kuil yang selalu dipadati oleh peziarah saat perayaan ulangtahun Dewa Kota, Chenghuangye. Di sepanjang jalur bersepeda ini, juga banyak terdapat pusat-pusat jajanan dan belanja, seperti di pasar Bali yang terletak di jalur Bali bikeways, berjejer kedai-kedai makanan yang menyediakan makanan khas Taiwan, sebut saja tahu busuk, bakpao, teh susu dan lainnya. Tingkat keamanan bersepeda juga cukup baik, pesepeda tak perlu khawatir kala harus meninggalkan sepedanya tanpa terkunci. Begitupula dengan jalur bersepeda yang sangat mulus, bersih dan nyaman serta lebar jalurnya cukup untuk dilintasi oleh pengedara dari dua arah.

Kala itu saya memilih untuk menjelajahi jalur Bali Left Bank bikeways, karena menurut seorang teman asal Taiwan, daerah ini memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan lokasi yang lain yaitu lokasinya masih asri, tidak terlalu ramai, sekaligus bisa memuaskan hobi fotografi saya. Maka, di suatu sore yang cukup cerah, setelah lima hari Taipei diguyur hujan dan topan, saya pun beranjak dari penginapan menuju stasiun MRT terdekat. Tujuan saya hari itu adalah MRT Danshui, dilanjutkan dengan sedikit berjalan kaki menyusuri pasar malam Danshui, lalu menumpang kapal penyebrangan untuk menyebrangi Danshui River. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 saat saya tiba di Bali Left Bank bikeways, namun mentari masih bersinar cukup terang, karena saat itu adalah musim panas sehingga matahari bersinar lebih panjang daripada musim lainnya. Ini berarti, saya masih memiliki waktu sekitar dua jam, hingga mentari terbenam seluruhnya.

Tak mau menyia-nyiakan waktu, saya segera mencari tempat penyewaan sepeda. Saya cukup terkesima dengan beraneka ragamnya jenis sepeda yang ditawarkan, mulai dari sepeda untuk anak-anak, sepeda gunung hingga sepeda tandem. Biaya penyewaan bervariasi tergantung jenis sepeda dan waktu penyewaan. Untuk sepeda gunung, saya mengeluarkan uang 100 NT (Rp. 35.000 untuk pemakaian 6 jam). Setelah memilih sepeda yang saya inginkan, saya segera menyusuri jalur bersepeda. Pengendara sepeda hari itu, tidak terlalu banyak dan mayoritas adalah warga setempat yang sedang menikmati sore hari sambil bersepeda. Memasuki 100 meter pertama, saya sudah bisa menikmati penjelajahan saya. Lajur bersepeda yang saya lalui sangat mulus, tertata apik dan walau lajur ini terletak di pinggir sungai, namun tidak sedikitpun tercium bau tak sedap. Suasananya pun sangat tenang, bisingnya laju kendaraan serta riuhnya keramaian kota besar sekejap hilang berganti dengan kicauan burung dan semilir angin. Ditambah dengan udara segar yang tak hentinya menerpa wajah seiring dengan kayuhan sepeda. Sungguh sebuah kenikmatan bersepeda.

Mata saya pun dimanja dengan indahnya pemandangan Danshui River dengan latar belakangnya pasar malam Danshui serta beberapa bangunan tinggi, sedangkan di sisi kanan saya adalah jejeran pepohonan yang rapi dipadu dengan beberapa titik taman umum yang tersebar sepanjang jalur bersepeda sebagai lokasi warga setempat untuk berolahraga atau berpiknik. Selama penjelajahan, saya sempat beberapa kali berhenti di tempat-tempat yang menurut saya indah hanya untuk duduk menikmati keindahan itu dan mengambil foto. Di tengah perjalanan, saya juga menemukan sebuah kedai kopi dengan nama yang sangat menarik perhatian yaitu Mother’s Tongue. Segera, saya memutuskan untuk berhenti dan menikmati secangkir teh susu dingin. Kedai kopi yang cukup modern ini didesain dengan sangat apik dan nyaman, ditambah dengan pelayanan yang sangat ramah, sungguh membuat saya tak ingin beranjak pergi. Untunglah, keinginan kuat untuk mengambil foto pemandangan Danshui River kala matahari terbenam mendorong saya untuk segera melanjutkan perjalanan. Sekitar satu kilometer dari kedai kopi, medan perjalanan berganti dari aspal menjadi jembatan kayu, yang di kiri dan kanannya ditanami pohon bakau. Tak jauh dari sana, terdapat sebuah lapangan yang cukup luas dan agak menjorok ke sungai, sehingga memungkinkan saya untuk melihat keseluruhan pemandangan di seberang sungai serta jembatan Guandu yang cukup terkenal dan sangat indah di kala malam hari. Di tempat ini saya tidaklah sendirian, ada beberapa kelompok warga yang sedang menikmati suasana sore hari, sambil menikmati makanan kecil maupun berbincang-bincang. Sungguh, saya sangat iri dengan mereka, walau Taipei adalah sebuah kota modern yang sangat sibuk, namun warganya masih memiliki pilihan lokasi bernuansa alam yang cukup asri untuk menghabiskan waktu senggang mereka. Warga setempat pun sangat ramah dan gemar berbincang, saat saya sedang asik-asiknya mengambil foto, ada saja beberapa warga yang dengan ramah menegor saya dan kami pun sempat berbincang sebentar. Setelah puas mengambil foto, saya mengayuh kembali sepeda saya menuju tempat penyewaan dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Perjalanan saya hari itu, ditutup dengan menikmati jajanan lokal di pasar malam Bali. Pilihan menu saya adalah tahu busuk yaitu tahu goreng yang difermentasikan dengan berbagai macam jenis rempah, sehingga bila dimasak mengeluarkan bau busuk, nah disinilah keahlian juru masaknya diuji, karena tahu yang lezat tidak akan terasa bau saat dimakan. Tahu busuk ini disajikan dengan acar sayuran dan saus serta sambal.

Bagi saya, pengalaman ini sangat luar biasa, karena saya bisa merasakan dan melihat Taipei dari sisi yang berbeda yang sangat bersahaja dan jauh dari keramaian serta kapitalisme, namun yang paling utama adalah kesempatan untuk bisa membaur dengan warga setempat.

 

Taman Nasional Taroko – Hualian

Mengunjungi Taiwan, tidak akan lengkap rasanya bila tidak mengunjungi Hualian, salah satu kota di sebelah timur Taiwan yang berjarak dua jam perjalanan kereta api dari kota Taipei. Lokasi wisata yang cukup terkenal di kota ini adalah Taman Nasional Taroko, yang merupakan taman nasional kedua terbesar di Taiwan setelah Taman Nasional Yushan di sebelah selatan pulau Taiwan.

Taman Nasional Taroko sendiri, membentang seluas 92.000 hektar dan melintasi tiga wilayah atau kota yaitu Hualian, Nantou dan Taichung. Taman ini paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing dan lokal karena pesona bebatuan marmernya yang indah dan telah berusia jutaan tahun. Ketenaran lokasi ini menjadikannya sebagai salah satu ujung tombak pariwisata Taiwan, dan seringkali menjadi lokasi pengambilan gambar untuk film-film Taiwan.

Kunjungan saya ke Taman Nasional Taroko cukup singkat namun sangat berkesan. Seorang kawan asal Taiwan yang telah sangat mengenal Taroko, berbaik hati untuk memandu saya dalam menjelajahi Taroko. Ia menyarankan agar kami melakukan penjelajahan dengan berjalan kaki, karena ada beberapa keuntungan yang bisa didapat, salah satunya adalah untuk memenuhi kegemaran fotografi kami. Ada begitu banyak titik yang indah dan terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa diabadikan. Selain itu, melakukan fotografi di kawasan ini juga cukup menantang, karena tebing yang menjulang tinggi, menyebabkan pencahayaan matahari tidak selalu maksimal, maka untuk menghasilkan hasil yang baik, terkadang kami harus menunggu selama beberapa saat. Setidaknya dengan berjalan kaki, kami lebih bebas dalam menjelajah.

Kami tiba di Taroko, saat hari sudah menunjukkan pukul 14.00, karena perjalanan dari Taipei menuju Hualian dengan menggunakan kereta api menghabiskan waktu sekitar dua jam, kemudian kami menumpang bus dari stasiun kereta api Hualian menuju Taroko, dan ini memakan waktu sekitar satu setengah hingga dua jam. Hari pertama kami di Taroko, kami habiskan dengan menyusuri Cimu Bridge hingga Tianshiang, tempat kami bermalam.

Cimu Bridge adalah sebuah jembatan yang sangat apik dan terletak antara dua tebing. Tepat, di bawah jembatan ini, terdapat sebuah batu yang karena erosi, memiliki bentuk menyerupai seekor kodok. Nama jembatan ini pun cukup unik, karena dalam bahasa Indonesia, Cimu bisa berarti “persembahan untuk ibu”. Hal ini terkait dengan keberadaan dua buah paviliun yang masing-masing terletak di kedua sisi jembatan. Paviliun pertama yang berada di atas batu yang menyerupai kodok, dibangun oleh almarhum presiden Chiang Jing Guo untuk memperingati ibundanya. Sedangkan paviliun di sisi sebelah timur, dibangun oleh almarhum presiden Chiang Kai Sek, juga untuk memperingati ibunda beliau. Di paviliun pertama inilah, kami beristirahat sambil menikmati bekal makan siang. Di bawah paviliun mengalir pula sungai Liwu, aliran sungai ini membentuk formasi-formasi bebatuan yang unik serta saya bisa menyaksikan dari atas betapa halusnya marmer yang telah tergerus air selama jutaan tahun.

Kemudian perjalanan kami lanjutkan menuju Tianshiang. Walau jarak yang kami tempuh sambil berjalan kaki cukup lama, namun ada beberapa pengalaman yang menurut saya sangat menarik, misalnya berjalan kaki menelusuri sebuah terowongan yang cukup panjang selama 10 menit, tanpa adanya bantuan penerangan. Satu-satunya pencahayaan adalah dari pantulan tanda pengaman jalan. Namun, kami bisa merasakan bila ada kendaraan yang datang melalui suara angin dan pantulan suara di dalam terowongan. Selain itu, ada pula terowongan yang lain dimana di langit-langitnya dihuni oleh sekelompok kelelawar yang riuh berterbangan. Sambil berjalan kaki pula, saya bisa memperhatikan konstruksi dari setiap terowongan yang ada, ada yang terbuat dari beton namun ada pula yang masih terbuat dari kayu serta bebatuan dan di celah-celahnya merembes tetesan-tetesan air pegunungan yang dingin.

Mendekati Tiangshiang, saya bisa melihat sebuah pagoda serta patung dewi Kuanyin yang berdiri cantik di atas tebing. Kedua landmark ini cukup terkenal di kawasan Tianshiang dan memiliki akses yang cukup mudah pula, sehingga banyak pengunjung yang tak lupa untuk mengunjungi kedua tempat ini kala berkunjung ke Tianshiang. Tak jauh dari sana, terdapat sebuah taman plum dimana saat musim dingin, bunga-bunganya bermekaran dengan indahnya.

Tianshiang sendiri menyerupai sebuah desa kecil yang memiliki berbagai fasilitas umum seperti restoran, halte bus, mini market, kantor pos dan lainnya. Tianshiang juga kerap dijadikan tempat beristirahat sejenak oleh para pengunjung sambil menikmati penganan kecil dengan pemandangan tebing-tebing Taroko serta sungai Liwu. Suasana malam yang sangat sepi di Tianshiang juga tak kalah menarik, saat inilah saya bisa merasakan suasana magis Taroko di antara tebing-tebing yang menjulang tinggi, pencahayaan yang hanya berasal dari bulan dan bintang serta merdunya aliran sungai Liwu. Tempat saya bermalam, yaitu di Tianshiang Youth Activity Center juga sangat nyaman, walau saat itu sedang musim panas dan di setiap kamar terdapat penyejuk ruangan, namun saya memilih untuk membuka jendela kamar saya dan beristirahat sambil ditemani oleh suara aliran sungai dan udara pegunungan yang sejuk. Setelah sekian minggu saya di Taiwan, mungkin di Tianshiang inilah saya bisa beristirahat dengan total dan nyaman.

Hari kedua kami di Taroko, kami tak memiliki banyak waktu karena harus segera kembali ke Taipei. Sehingga kami memutuskan untuk mendatangi tempat-tempat yang memang sangat terkenal yaitu Swallow Grotto dan The Tunnel of Nine Turns, tentu sambil berjalan kaki. Saat menginjakkan kaki di Tunnel of Nine Turns, tak terkira betapa senangnya saya, karena setelah sekian lama hanya melihat keindahan lokasi ini dari film-film, akhirnya saya bisa melihat secara langsung keindahan tempat ini. Dan benar, tempat ini memang sangat mempesona, apalagi saat itu tidak terlalu banyak pengunjung, sehingga saya benar- benar bisa merasakan keindahan tempat ini dengan maksimal. Bebatuan marmernya yang sangat halus menjulang tinggi, serta warnanya cukup berbeda dengan batu marmer kebanyakan, mungkin karena pantulan matahari, sehingga terlihat berwarna agak hijau. Kami cukup berhati-hati di lokasi ini, karena kami melihat ada banyak bebatuan yang jatuh dari atas. Menurut kawan saya, gempa bumi yang terjadi sekitar 10 tahun lalu, membuat formasi bebatuan di tempat ini menjadi labil dan sering berjatuhan. Maka bila anda berkunjung ke tempat ini, pastikan bahwa anda senantiasa berdiri di bawah tebing yang menutupi kepala anda dari luncuran bebas batu dari atas, atau gunakan helm. Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan kami ke Swallow Grotto. Di lokasi ini terdapat dua buah terowongan yaitu khusus untuk pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Melalui terowongan khusus pejalan kaki inilah, saya bisa melihat aliran sungai Liwu dari dekat, karena disinilah lokasi terendah bila diukur dari ketinggian sungai, dan sebaliknya bila kita melihat ke atas, kita bisa melihat tebing yang menjulang sangat tinggi.

Swallow Groto merupakan tujuan terakhir saya di Taroko dan kami pun bersiap untuk kembali ke Taipei. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri untuk membeli beberapa buah plum serta peach yang banyak dijual oleh pedagang kecil di Tianshiang. Buah-buah tersebut sangat manis dan sangat berbeda dengan buah plum atau peach yang kerap saya beli di Jakarta, mungkin itulah buah plum terlezat yang pernah saya nikmati selama ini.

Sayang, kunjungan kami terbatas oleh waktu, padahal masih ada beberapa lokasi yang ingin saya jelajahi seperti area hutan lindungnya yang terdapat beranekaragam flora dan fauna serta sisa-sisa peninggalan budaya kaum aborigin seperti jalur-jalur penjelajahan kuno yang pada masa lampau digunakan untuk berburu. Lokasi lain yang tak kalah menarik adalah Guanyuan, dimana pada musim dingin, kita bisa merasakan salju sekaligus memandang lautan awannya nan indah. Di lain waktu, saya pasti kembali. Untuk saat ini au revoir Taiwan!